Menimbang Demokrasi

Kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan merupakan konklusi final atas apa yang disebut dengan revolusi.

Revolusi ini mengubah banyak hal dalam kehidupan kemanusiaan Indonesia, termasuk perubahan bentuk negara bangsa (nation state) dari yang awalnya berupa kerajaan, peleburan sikap kedaerahan/kesukuan berlebih (primordial) yang dalam hal ini dapat membuat seorang bangsawan bergelar raden mas menjadi pedagang ban mobil, hingga petani yang berubah menjadi semakin kesulitan mendapatkan pupuk guna meruwat lautan keringat yang mengapungkan mahligai istana negara di sana.

Konsep negara bangsa pada awalnya muncul sebagai antitesis atas dominasi gereja Kristen yang terjadi di Eropa abad pertengahan silam. Kala itu, gereja dan negara merupakan elemen kekuasaan yang tak boleh terpisahkan. Tidak ada yang namanya dikotomi antara gereja dan negara. Persoalannya adalah, kebijakan yang dikeluarkan gereja saat itu dominan merugikan rakyat, ringkasnya mencari keadilan sudah seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Rakyat dilarang berfilsafat selain yang sejalan dengan gereja, maraknya mitos, tahayul, bidah dan churafat (TBC), bahkan gereja menjadi pusat studi administrasi dan ekonomi. Pokoknya siapa yang berani melawan gereja, harus siap diberi sanksi dari yang paling ringan bahkan sampai yang paling fatal, merenggang nyawa. Memangnya siapa yang mau menanggung derita cuma karena berbeda pendapat? Apalagi mati. Toh, lebih baik diam saja, tidak berpendapat, tetap berada di zona nyaman, mengikuti alur gereja yang semakin lama semakin mebuat manusia berada dalam kedunguan. Tak heran kenapa zaman tersebut dinamakan sebagai the dark ages, zaman kegelapan.

Meskipun demikian, konsep negara bangsa lantas diterima dan menjamur di sekujur benua Eropa, tak terkecuali Asia―Jepang, Filipina, Cina dan Indonesia termasuk beberapa yang sempat keranjingan jamur revolusi ini, sebab konsep negara bangsa menghendaki pelaksanaan kebijakan (polis) yang dijalankan oleh rakyatnya secara dewasa. Ibarat seorang pengemudi mobil, ia bebas mengendalikan mobilnya untuk diarahkan ke mana saja, asal sudah punya SIM. Demikian pula demokrasi.

Di dalam Konohagakure, para pencinta anime sudah pasti tahu ―jika belum tahu ada baiknya pula merampungkan tulisan ini― bahwa pergantian hokage (pemimpin negara) dalam serial anime Naruto Shippuden dilakukan setelah hokage menjabat telah wafat, melalui musyawarah tim formatur yang berisikan para Daimyo Negara Api (semacam dewan perwakilan dan penasihat). Mereka berdiskusi mengenai siapa saja yang layak memimpin Konohagakure selanjutnya, menimbang track record bakal calon selama menjalani misi sebagai seorang Shinobi dan yang terpenting adalah memperhitungkan nalar politiknya apakah setelah ia menjadi hokage akan mempertahankan serta membela rakyat dan membawa mereka kepada ‘tekad api’ atau justru mengorbankan penduduk dan malah memadamkan ‘tekad api’-nya. Barulah kemudian ia pantas menjadi orang nomor satu se-negara Konoha itu.

Akan tetapi, lain halnya dengan Senju Hashirama, sang proklamator Konohagakure bersama dengan rekan sejawatnya Uchiha Madara yang belakangan menjadi rival politiknya. Pada dasarnya, pemilihan pemimpin pertama negara Konoha dilakukan secara pemilu. Meskipun terdapat unsur politik Hashirama buat memenangkan suara dari Madara, biar bagaimanapun pemilu pertama Konohagakure ini menunjukkan betapa warga negara Konoha sudah secara ‘demokrasi’ memilih Hasirama.

Entah kenapa, rasanya aneh bin ajaib saja jika pemilu itu tidak dilanjutkan di periode hokage-hokage setelahnya. Kalaupun Hashirama atau Tobirama masih hidup, mungkin mereka akan mengusahakan pergantian hokage supaya tetap melalui jalur pemilu. Cuma Tobirama yang bakalan lebih siaga agar klan Uchiha tak bisa lolos di tahap seleksi.

Sedangkan jika kita pernah ke kebun binatang saat study tour, pastilah tidak terlewatkan kandang atau kerumunan monyet. Nah, dalam kerumunan monyet ini, monyet paling kuat dan paling beringaslah yang menjadi pemimpin. Alasanya cukup variatif. Mungkin saja karena dia paling tua atau mungkin paling pintar. Tapi yang jelas karena dia paling besar, paling beringas, paling kuat, paling perkasa dan paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak patuh. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan.

Sederhananya, kalaulah revolusi dapat mengubah seorang bangsawan bergelar raden mas menjadi seorang pedagang ban mobil, lantas ketika demokrasi itu dikebiri akankah seorang bangsawan yang sudah jadi pedagang tadi kembali menjadi raden mas seperti semula? Merebut kembali kebangsawanannya?

Penulis: Muhammad Fadhil
Purworejo, 30 Mei 2024

Posting Komentar

0 Komentar