Membaca Ulang Sosok Ratu Kidul, PMII Komisariat An-Nawawi Hidupkan Tradisi Ngaji Budaya


Purworejo— PMII Komisariat An-Nawawi kembali menunjukkan wajah intelektualnya melalui forum diskusi terbaru bertajuk Ngaji Cakrajaya, sebuah wadah yang dirancang untuk menghidupkan kembali tradisi ngaji budaya mahasiswa di lingkungan Pondok pesantren. Pada pertemuan perdana yang berlangsung Rabu malam Kamis manis (19/10/2025) bertempat di Serambi Masjid Shiddieq Zarkasyi.

Tema yang diangkat adalah “Simbol Mistika dalam Diri Ratu Kidul”, dengan menghadirkan Sahabat Mohamad Ibram Syah sebagai pemantik diskusi. Hal ini menjadi menarik karena tidak hanya menyentuh folklore pesisir Jawa, namun juga menyentuh aspek simbolik, sosial, dan identitas bangsa. Diskusi berlangsung hangat dan membuka banyak sudut pandang baru mengenai cara kita membaca figur Ratu Kidul dalam konteks budaya Indonesia hari ini.

Ratu Kidul sebagai Simbol Sosial dan Kebijaksanaan Lokal

Dalam pemaparannya, Ibram  Syah menegaskan bahwa masyarakat Jawa sejak lama menggunakan tokoh mistis sebagai simbol sosial, bukan semata-mata sebagai entitas gaib. Ratu Kidul, misalnya, dipahami sebagai:

Simbol relasi pemimpin: sebuah gambaran bagaimana pemimpin Jawa harus mampu menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan moral yang lebih tinggi.

Simbol kontrol sosial: di mana mitos Ratu Kidul menjadi alat penanaman etika, adab, dan kedisiplinan masyarakat.

Simbol feminitas dan mitigasi alam: laut Selatan yang ganas dipersonifikasi dalam figur perempuan untuk menghadirkan rasa hormat sekaligus kewaspadaan terhadap kekuatan alam.

Penafsiran ini sejalan dengan pemikiran Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa (1968), yang menjelaskan bahwa masyarakat Jawa sering mengekspresikan pemahaman politik dan alam melalui simbol mitologis.

Begitu pula Koentjaraningrat—antropolog Indonesia terkemuka—yang menyebut bahwa mitos merupakan “bentuk kecerdasan budaya untuk mengatur kehidupan sosial” (Kebudayaan Jawa, 1984).

Dengan demikian, memahami mistika bukan berarti percaya takhayul, melainkan membaca bahasa simbolik masyarakat masa lalu yang masih relevan hingga hari ini.

Tantangan Modernitas dan Identitas Nasional

Salah satu pertanyaan menarik muncul dari peserta:

Mengapa manusia modern cenderung menganggap Ratu Kidul sebagai klenik atau fiksi semata?

Ibramsyah menjelaskan bahwa modernitas sering memutus hubungan manusia dengan akar budaya, sehingga apa pun yang bersifat simbolik dianggap tidak rasional. Padahal, seperti ditulis Sartono Kartodirdjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (1992), simbol adalah bagian dari kesadaran historis bangsa. Tanpa simbol, identitas akan rapuh.

Diskusi kemudian menyentuh isu lebih besar:

Apakah ada usaha rekolonialisasi budaya Indonesia?

Sahabat Ibramsyah merespon pertanyaan tersebut dengan sangat retorik yaitu “Ya bisa iya dan bisa tidak.” Globalisasi memang membawa pola baru yang sering meminggirkan budaya lokal. Beliau juga menambahkan bahwa Karena itu, tiga unsur utama yang membuat bangsa tetap kokoh harus diperkuat, yakni Keyakinan,Bahasa,Budaya. Ungkap Ibramsyah

Sikap ini sejalan dengan gagasan Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna (2011), bahwa kebudayaan adalah “lem perekat bangsa” yang menjaga Indonesia dari disintegrasi.

Gen Z dan Tantangan Mengemas Ulang Warisan Budaya

Diskusi semakin hidup ketika peserta menyinggung:

Bagaimana cara agar Gen Z tetap maju dan tidak terputus dari simbol kebudayaannya?

Di sinilah poin pentingnya:

Generasi digital sangat visual, sehingga budaya harus dikemas ulang melalui visualisasi—film pendek, ilustrasi, infografis, konten edukatif, cerita pendek animasi, dan sebagainya.

Penduduk pesisir Jawa dulu menggunakan mitos untuk menghindari bahaya laut; Gen Z hari ini menggunakan visual digital untuk menjaga agar simbol-simbol itu tidak hilang.

Sejarawan Indonesia Muhamad Yamin pernah menulis bahwa “bangsa hanya akan besar apabila ia setia pada kepribadiannya sendiri” (Gadjah Mada, 1945). Dan visualisasi budaya adalah bentuk “kesetiaan baru” terhadap tradisi, dalam bahasa zaman ini.

Topik lain yang mengemuka adalah:

Kenapa Gen Z lebih tertarik pada Ratu Kidul daripada Panembahan Senopati?

Karena narasi Ratu Kidul lebih dramatis, magis, dan emosional—mudah dipopulerkan. Sementara tokoh-tokoh politik klasik cenderung dipresentasikan secara kaku dan formal.

Diskusi ditutup dengan pertanyaan reflektif:

Bisakah manusia hidup tenteram tanpa selaras dengan alam?

Pertanyaan ini mengingatkan kita pada prinsip Jawa hamemayu hayuning bawana—manusia memperindah dunia, dan dunia akan memperindah hidup manusia.

Filsuf Jawa Sindu Galba dalam bukunya Filsafat Kejawen (2001) menegaskan:

“Kearifan Jawa bukan menguasai alam, tetapi hidup selaras dengannya.”

Oleh karena itu, Ngaji Cakrajaya bukan sekadar forum diskusi, tetapi ikhtiar PMII An-Nawawi untuk menghadirkan kembali kesadaran budaya di tengah gelombang modernitas. Membaca Ratu Kidul bukan berarti kembali pada dunia mistik, melainkan menghargai simbol-simbol kebijakan lokal yang membentuk identitas bangsa.

Dengan kemasan yang segar dan pendekatan yang kritis, forum ini membuka ruang bagi mahasiswa untuk mengenal budaya, memahami nilai, dan meneguhkan identitasnya sebagai bagian dari bangsa besar bernama Indonesia.


Kontributor: Muhammad Syafi Syafiq

Posting Komentar

0 Komentar