Belakangan ini NU kembali menjadi sorotan publik akibat konflik
internal di tubuh pengurus besar. Isu bermula dari keputusan salah satu organ
tertinggi Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menyerukan
pencopotan jabatan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU. Langkah ini memicu
perdebatan sengit di kalangan nahdliyin dan masyarakat luas. Beberapa pihak
menilai langkah itu secara prosedural lemah karena menurut Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU kekuasaan tertinggi untuk memilih atau
mengganti ketua hanya ada di forum muktamar.[1]
Kekisruhan ini meluas ke ranah publik, sejumlah warga NU menyebut
bahwa forum informal seperti forum islah tidak cukup kuat menyelesaikan konflik
organisasi.[2]
Sementara itu, pengurus wilayah di banyak daerah menyatakan bahwa meski terjadi
gejolak di tingkat pusat, aktivitas organisasi di tingkat lokal tetap berjalan
normal.[3] Konflik internal yang terjadi bukan sekadar persoalan
figur atau perebutan posisi, tetapi menyentuh ranah yang lebih fundamental,
yaitu kredibilitas identitas NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang sejak
lama dikenal mengusung pluralisme, toleransi, dan keberagaman. Sejumlah
pengamat menilai bahwa polemik ini menguji apakah NU masih konsisten dengan
nilai-nilai moderasi Islam (tawassuth, tasamuh, tawāzun,
dan i‘tidāl) yang menjadi ciri khasnya sejak awal berdiri. Di tengah
tekanan politik dan dinamika internal tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat,
mampukah NU menjaga stabilitas organisasi tanpa mengorbankan idealisme
tradisionalnya.?
Nilai-Nilai Moderasi dan Kerukunan sebagai Ciri Khas NU
Sejak masa pendirinya, NU menegaskan prinsip moderasi sebagai basis
pemahaman Islam yang kontekstual, seimbang, dan tidak ekstrim. Prinsip tawassuth
(moderat), iʿtidāl (keadilan dan ketegakan prinsip), tasamuh
(toleransi), dan tawāzun (keseimbangan) dijadikan pijakan dalam
menyikapi ajaran Islam dan realitas sosial.[4]
Prinsip-prinsip ini tidak hanya tercermin dalam sikap keagamaan,
tetapi juga dalam ranah sosial-ekonomi. Kiai Hasyim Asy’ari, misalnya, turut
menggagas gerakan ekonomi seperti Nahdlatut Tujjar, yaitu perkumpulan pedagang
NU yang bertujuan memperkuat kemandirian ekonomi umat melalui perdagangan,
koperasi, dan jaringan usaha pesantren. Dalam penelitian Fauzan Adim dkk. menjelaskan
bahwa gerakan ekonomi NU tersebut berfungsi memperkuat prinsip moderasi melalui
pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, dengan menekankan etika bisnis yang
adil dan saling menguntungkan dalam bingkai nilai-nilai tawassuth dan tawāzun.[5]
Selain aspek ekonomi, nilai tasamuh (toleransi) menjadi
wajah utama NU dalam kehidupan sosial. NU menghargai keragaman mazhab, budaya
lokal, dan tradisi keIslaman Nusantara tanpa memaksakan keragaman. Penelitian
Moh. Ashif Fuadi menegaskan bahwa tasamuh di NU dipraktikkan melalui
sikap menghormati perbedaan furu’iyyah, keterbukaan dalam tradisi
keagamaan, serta penerimaan terhadap budaya lokal sebagai bagian dari dakwah
kultural.[6] Sikap
ini memberi ruang bagi pluralisme, kebhinekaan, dan kerukunan dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk.
Nilai tawāzun atau keseimbangan juga menjadi karakter inti
NU. Prinsip ini mengatur keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, agama
dan negara, serta tradisi dan modernitas. Dalam penelitian Faiza Nur Khalida
dkk., dijelaskan bahwa tawāzun merupakan pilar penting moderasi NU yang
menolak ekstremisme, baik yang terlalu tekstual maupun terlalu liberal. NU
menempatkan diri sebagai penengah yang mendorong keharmonisan antara agama,
budaya, dan realitas sosial.[7]
Dalam ranah sosial kemasyarakatan, nilai-nilai moderasi NU
diwujudkan melalui tradisi dakwah kultural yang ramah, inklusif, dan tidak
konfrontatif. Penelitian Siti Wuryan dkk. menemukan bahwa dakwah kultural NU
berperan penting dalam menjaga kerukunan antarumat beragama, terutama melalui
pendekatan dialogis, musyawarah, dan pendekatan budaya lokal.[8]
Melalui metode seperti ini, NU menjadi salah satu kekuatan utama dalam menjaga
stabilitas sosial dan merawat perdamaian di tengah pluralitas masyarakat
Indonesia.
Secara keseluruhan, prinsip tawassuth, tasamuh, tawāzun, dan
kerukunan bukan hanya slogan, tetapi telah dipraktikkan dalam gerakan sosial,
ekonomi, pendidikan, dan dakwah NU. Nilai-nilai ini menjadi fondasi NU dalam
menjawab dinamika zaman, termasuk menghadapi tantangan kontemporer seperti
polarisasi politik, menguatnya ekstremisme, dan ketegangan identitas.
Konsistensi NU di Tengah Polemik Internal
Meskipun NU menghadapi polemik internal yang menyita perhatian
publik, fondasi nilai moderasi yang mengakar sejak awal berdiri tampak menjadi
penopang penting dalam menjaga stabilitas organisasi. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa nilai tawassuth, tasamuh, tawāzun dan i‘tidāl
bukan hanya konsep normatif, tetapi telah menjadi budaya organisasi NU yang
berfungsi sebagai mekanisme resolusi konflik. Misalnya, dalam penelitian
Choirul Anam, dijelaskan bahwa NU memiliki tradisi islah, musyawarah dan tawassuth
yang secara historis efektif meredam ketegangan internal tanpa merusak struktur
organisasi maupun merombak nilai-nilai dasar yang mereka pegang.[9]
Polemik yang kini terjadi sesungguhnya menjadi ujian apakah tradisi
moderasi itu masih hidup. Namun, respons masyarakat NU di akar rumput
menunjukkan bahwa kultur moderasi masih kuat seperti kegiatan pesantren, dakwah
kultural dan program sosial berjalan normal, meskipun terjadi perdebatan tajam
di tingkat elite. Hal ini sejalan dengan temuan Arif Zamhari bahwa NU memiliki
lapisan elite dan lapisan kultural di mana konflik elite tidak signifikan
memengaruhi stabilitas kultural karena basis NU lebih mengandalkan otoritas
kiai di pesantren dari pada politik struktural.[10]
Dengan demikian, NU berpotensi besar menjaga stabilitas
organisasinya tanpa harus mengorbankan idealisme tradisional. Tradisi moderasi
dan dakwah kultural yang telah menjadi identitas sosial NU terbukti menjadi
kekuatan adaptif dalam menghadapi tekanan politik kontemporer. Pertanyaannya
bukan lagi mampukah.?, tetapi, bagaimana NU mempertahankan nilai-nilai tersebut
dalam praktik kepemimpinan modern? Fakta lapangan dan kajian akademik
menunjukkan bahwa ketika nilai moderasi tawassuth, tasamuh, tawāzun, dan
i‘tidāl dipegang teguh, NU selalu mampu meredakan konflik dan kembali ke
orientasi utamanya yaitu kemaslahatan umat dan stabilitas sosial bangsa.
[1] https://rmol.id/politik/read/2025/11/27/688153/nahdliyin-pesimistis-forum-islah-bisa-selesaikan-konflik-internal-pbnu?
[2] https://rmol.id/politik/read/2025/11/27/688153/nahdliyin-pesimistis-forum-islah-bisa-selesaikan-konflik-internal-pbnu?
[3] https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2025/11/27/510/1237151/pwnu-diy-gejolak-pbnu-tak-berpengaruh-di-daerah?
[4] Nendi Sahrul
Mujahid, Prinsip-Prinsip Nahdlatul Ulama dan Urgensinya dalam Tantangan
Internasional, AL-FIQH: Journal of Islamic Studies, Vol. 1. No. 1, (April
2023), hlm. 21-23.
[5] Fauzan Adim,
Imam Sopingi, & Athi’ Hidayati, “Implementasi Nahdlatut Tujjar Dalam
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat: Studi Pada Lembaga Sosial Pesantren
Tebuireng,” JIES: Journal of Islamic Economics Studies, Vol. 6 No. 2,
(2025), hlm. 203–205.
[6] Moh. Ashif
Fuadi, “Tradisi Pemikiran Moderasi Beragama Nahdlatul Ulama,” Al-Fikra:
Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 21 No. 1, (2022), hlm. 48–49.
[7] Faiza Nur
Khalida dkk., “Kontribusi Nahdlatul Ulama Terhadap Pemikiran Islam Moderat di
Indonesia,” Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, Vol. 9 No. 4, (2024),
hlm. 467–468.
[8] Siti Wuryan
dkk., “Da’wah Nahdlatul Ulama in Increasing Tolerance Between Religious
Communities,” Moderatio: Jurnal Moderasi Beragama, Vol. 5 No. 1, (2025),
hlm. 6–7.
[9] Choirul Anam, Pertumbuhan
dan Perkembangan NU, Jakarta: PT Temprint, 2010, hlm. 42–43.
[10] Arif Zamhari, Nahdlatul
Ulama dan Islam Nusantara: Konstruksi Islam Moderat di Indonesia, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2019, hlm. 118.

0 Komentar