Pendahuluan
Dalam lanskap kehidupan modern yang semakin terdigitalisasi, teknologi algoritmik telah menjadi infrastruktur utama dalam mengatur dan mengarahkan perilaku manusia, baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Teknologi ini bukan hanya hadir sebagai alat bantu dalam kehidupan sehari-hari, melainkan telah menjelma menjadi struktur kekuasaan yang membentuk persepsi, kesadaran, dan bahkan realitas sosial itu sendiri. Melalui media sosial, mesin pencari, dan platform digital lainnya, algoritma menentukan apa yang kita lihat, siapa yang kita dengar, dan bagaimana kita memahami kebenaran. Dalam konteks ini, sangat mendesak untuk mengajukan kembali satu pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya mengatur arah budaya dan wacana publik dalam masyarakat digital hari ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni budaya menjadi alat analisis yang sangat relevan. Gramsci, seorang pemikir Marxis Italia yang dipenjara oleh rezim fasis Mussolini, mengembangkan konsep bahwa dominasi kelas tidak hanya dilakukan melalui kekuatan koersif (represi negara), tetapi juga melalui penciptaan konsensus ideologis yang disebarkan oleh institusi budaya seperti sekolah, media, dan agama. Di sinilah letak kekuatan utama hegemoni: menjadikan nilai dan kepentingan kelas dominan sebagai nilai dan kepentingan bersama yang seolah netral dan universal. Dalam konteks algoritma, mekanisme hegemoni ini mengalami transformasi baru yang lebih tersembunyi namun semakin kuat pengaruhnya.
Hegemoni dalam Ruang Algoritmik
Algoritma digital, sebagaimana dirancang oleh perusahaan-perusahaan teknologi global seperti Google, Meta, ByteDance, dan Amazon, tidaklah netral. Mereka dirancang dengan tujuan ekonomi dan ideologis tertentu, terutama untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, mendongkrak kapitalisasi pasar, dan menciptakan sistem prediksi perilaku yang dapat dimonetisasi. Dalam logika ini, informasi yang muncul di layar pengguna bukan dipilih berdasarkan validitas atau relevansi sosial, melainkan karena kemampuannya menarik klik, komentar, atau konsumsi lebih lanjut. Yang viral menjadi yang tampak benar, yang menghibur menjadi yang paling dipercaya, dan yang kompleks serta kritis tergeser oleh yang dangkal dan emosional.
Fenomena ini menciptakan semacam “konsensus digital”, di mana pengguna internet secara tidak sadar menerima logika algoritmik sebagai penentu utama dalam mengakses dan memahami realitas. Ini adalah bentuk baru dari hegemoni budaya, di mana alat produksi ide dan wacana tidak lagi berada hanya pada media massa konvensional, tetapi berpindah ke tangan platform digital yang memiliki kemampuan teknis dan modal untuk mengatur arsitektur atensi publik. Dalam kerangka Gramscian, algoritma telah menjadi intelektual organik bagi kelas kapitalis global—aktor yang secara aktif mengatur produksi budaya untuk menjaga status quo dan mencegah munculnya kesadaran kritis.
Produksi Kebenaran dan Kepalsuan yang Terlegitimasi
Dalam dunia yang dikuasai algoritma, kebenaran tidak lagi merupakan hasil dari proses deliberasi rasional atau pengujian kritis, melainkan hasil dari pattern recognition berbasis data perilaku pengguna. Fakta sosial tergantikan oleh statistik impresi. Di sinilah kita menyaksikan kemunculan apa yang dapat disebut sebagai kebenaran algoritmik: narasi yang terverifikasi bukan karena isinya benar, tetapi karena disukai dan dibagikan oleh banyak orang. Ini menciptakan ruang digital yang penuh dengan informasi kosong—konten yang viral namun tidak valid, yang memproduksi kepalsuan dengan kedok popularitas.
Lebih jauh lagi, algoritma mempersempit cakrawala berpikir masyarakat melalui personalisasi informasi yang ekstrem. Fenomena filter bubble dan echo chamber menjadikan pengguna hanya berinteraksi dengan pandangan yang sudah ia percayai sebelumnya, memperkuat bias pribadi, dan menutup kemungkinan terjadinya dialog antar perspektif yang beragam. Maka, lahirlah bentuk baru dari dogmatisme yang tidak disadari—masyarakat yang merasa kritis, namun sebenarnya terperangkap dalam kurasi algoritmik yang sangat sempit.
Resistensi dan Kontra-Hegemoni Digital
Jika Gramsci menekankan pentingnya menciptakan kesadaran kelas melalui organisasi intelektual organik yang mampu melawan narasi dominan, maka dalam era digital, perlawanan ini harus dilakukan dengan membangun gerakan literasi digital kritis dan budaya tanding yang tidak tunduk pada logika viralitas. Penting bagi masyarakat, terutama generasi muda dan kelompok intelektual progresif, untuk memahami bagaimana algoritma bekerja, bagaimana ia mereproduksi ketimpangan simbolik, dan bagaimana melawan dominasi tersebut dengan menciptakan ruang alternatif berbasis prinsip-prinsip keadilan, keberagaman, dan partisipasi yang otentik.
Perlawanan terhadap hegemoni algoritmik tidak bisa bersifat individual. Ia harus dibangun sebagai proyek kolektif yang melibatkan akademisi, seniman, aktivis, dan pengembang teknologi yang berkomitmen pada demokratisasi pengetahuan. Kebenaran harus direbut kembali dari tangan logika statistik dan dikembalikan kepada ruang publik yang rasional, etis, dan terbuka. Dalam hal ini, produksi media alternatif, penyusunan kebijakan etika teknologi, serta pengembangan perangkat digital berbasis komunitas menjadi langkah-langkah penting dalam membentuk kontra-hegemoni digital.
Penutup
Dominasi algoritma atas ruang budaya dan wacana publik telah menciptakan bentuk baru dari hegemoni yang lebih tersembunyi namun sangat efektif. Dalam dunia yang diatur oleh kode dan data, kebenaran direduksi menjadi performa metrik, sementara nilai-nilai kemanusiaan terpinggirkan oleh logika klik dan konsumsi. Antonio Gramsci mengajarkan bahwa perubahan sosial tidak bisa lahir dari ketidaksadaran atau ketundukan pasif terhadap sistem dominan. Hegemoni harus diidentifikasi, dianalisis, dan dilawan secara sadar. Maka dalam dunia algoritmik ini, tugas kita bukan hanya menjadi pengguna kritis, tetapi juga menjadi produsen wacana dan aktor budaya yang berani menciptakan ulang makna, menata ulang struktur informasi, dan merebut kembali ruang berpikir yang telah direkayasa oleh mesin demi keuntungan segelintir elite
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977. Edited by C. Gordon. New York: Pantheon Books.
Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.
Gramsci, A. (2000). The Gramsci Reader: Selected Writings 1916–1935. Edited by D. Forgacs.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism.
Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power.
0 Komentar