Gelar Mujahadah dan Diskusi: PMII Purworejo Peringati Harlah NU Ke-101 Tahun

Purworejo, To Care An-Nawawi- PMII Purworejo gelar mujahadah dan diskusi dalam rangka memperingati hari lahir Nahdlatul Ulama ke-101 tahun pada Jumat, 02 Februari 2024, yang bertempat di Sekretariat PC PMII Purworejo.

Agenda ini mengambil tema “Peran Santri Muda NU dalam Memacu Kinerja Organisasi”, dengan berangkat dari kenyataan bahwa anggota dan kader PMII yang juga sebagai santri, yang menjadi subjek gerak dalam organisasi, perlu menanamkan nilai-nilai hablum minallah dan hablum minannas supaya dapat memacu gerak dalam mencapai tujuan onganisasi. 

"Kita sebagai seorang santri, kader PMII, kader kampus, maupun kader organisasi lain, sebagai subjek gerak dalam organisasi, perlu menamkan nilai-nilai hablumminallah dan hablumminannas, supaya dapat memacu gerak dalam mencapai tujuan organisasi," ungkap Sahabati Himayati Rohmaniah, Wakil Ketua 3 Bidang Keagamaan sekaligus ketua panitia.

Sahabat Nur Muhammad Said Abdullah, S.H. menyatakan dalam sambutannya bahwa santri mampu berperan di era dan ruang lingkup mana saja. Dan momen seperti ini menjadi ruang silaturrahmi sesama kader NU, dalam rangka nguri-nguri hari lahir NU ke-101 tahun.

"Santri mampu berperan di era dan ruang lingkup mana saja. Momen ini kita jadikan sebagai ruang untuk bersilaturrahmi sesama kader NU, dalam rangka nguri-nguri hari lahir Nahdlatul Ulama ke-101 tahun ini," tandas Sahabat Said.

Diskusi ini menghadirkan dua pembicara sekaligus, yaitu Bapak Muhammad Musyafa’, S.H., Ketua Mandataris DPD KNPI Purworejo dan Bapak Dr. Uan Abdul Hanan, M.Ag., Anggota Mabincab PMII Purworejo.

Dalam diskusi sesi pertama, Bapak Musyafa’ menyampaikan pengalamannya menjadi aktifis PMII di Purworejo yang pada dasarnya juga adalah seorang santri di Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo.

Saat itu di tahun 2006 terjadi peristiwa besar di Yogyakarta yang mengundang banyak perhatian dari masyarakat, termasuk aktifis pergerakan, yaitu gempa bumi. Oleh karenanya, beliau menjadi salah satu yang diutus oleh Pengurus Cabang PMII Purworejo guna menjadi bagian dari tim relawan untuk pertama kali terjun langsung ke lapangan. 

Dalam penugasannya ini, jelasnya lebih lanjut, bahwa ia menjumpai banyak iring-iringan tantara dari Qatar untuk memberi bantuan kepada masyarakat Yogyakarta yang terdampak gempa seperti listrik mati, kehabisan air, tidak bisa masak dan sebagainya. Tantara Qatar ini beriring-iringan sambil melempar-lempat barang makanan sambil bermain-main, sambil guyon. Seakan-akan buat mainan. 

“Para tantara dari luar negeri, banyak yang mengirimkan bantuan ke Yogya pada waktu itu. Salah satu yang kita temui itu banyak sekali iring-iringan tantara dari Qatar. Nah, masyarakat, karena pada waktu itu, air mati, listrik mati, orang hampir rata-rata ndak bisa masak, karena bahan makanan juga tidak ada yang jualan. Maka hanya mengandalkan bantuan dari orang. Tentara Qatar ini iring-iringan sambil nguntalke Sarimi, Cikiu, dan kita berebut itu,” tuturnya.

Di situlah ia merasa tergugah karena begitulah kondisi Indonesia yang dilempari mi instan saja sudah jadi barang rebutan. Sehingga membuatnya mengelus dada dan membuatnya meneruskan penugasan yang semula hanya berlangsung selama tiga hari, menjadi sepuluh hari, meskipun harus menanggung risiko berupa mata kuliah yang tidak lulus. Karena, baginya, kampus tidak mengerti mengenai masalah kemanusiaan seperti itu.

“Di situlah saya merasa: iki Indonesia iki lho, Indonesia iku diuntal-untali Sarimi wae rebutan. Nek oleh orang kita sendiri ndak papa, tapi ini oleh orang negara lain. Negara lain itu yang kemudian ngasihkannya sambil guyon. Jadi kaya buat mainan. Saya ngelus dodo iku lho. Wah, iki negorone dewe iki lho. Le ngekei barang tuah iki modele ngene kie, diidak-idak dewe. Lha di situ lah kemudian sing tadinya saya mau cuma empat hari lima hari lah, kemudian saya balik, saya meneruskan sampai sepuluh hari, begitu. Dan dengan itu celakanya begini, kalau mahasiswa banyak keluar kemudian nganu yo MK-ne akeh sing ora lulus. Jadi kampus ora ngerti masalah ngono-ngonoan kuwi. Gak lulus yo wes, pokok ora lulus. Walaupun dewe yo kemanusiaan, yo kampus tetep gak ngerti,” sambungnya.

Tugas ini beliau namakan tugas "kemanusian", yang baginya, memotivasi dan menggerakkan ia untuk aktif ber-PMII dan kiranya belum ada yang motivasinya se-ngeri itu. Ia juga berpesan kepada kader-kader NU untuk selalu bersyukur dan melalukan apa yang bisa dilakukan tanpa menunggu berada di posisi tertentu. Yang terpenting adalah bagaimana membawa almamater PMII ini bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan juga masyarakat.

“Hari ini njenenang sudah berada di organisasi, apalagi PMII. PMII itu luar biasa. harus bersyukur. Dan apa yang hari ini bisa kalian lakukan, lakukanlah. Tidak harus kemudian berada di posisi apa-apa! Yang terpenting adalah bagaimana membawa almamater PMII ini bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan juga masyarakat,” tutupnya.

Bapak Uan, sebagai pembicara kedua, turut menjelaskan perihal pergolakan mahasiswa yang terjadi di eranya, tepatnya saat ia menjadi aktifis PMII di Yogyakarta dengan Ketua Cabang PMII Yogyakarta saat itu adalah Cak Imin, yang gencar mendengungkan isu-isu liberasi, bahkan masih bertahan hingga saat ini.

Ia mengungkapkan, dalam PMII terdapat poin-poin penting yang menjadi pokok pemikiran. Di mana yang pertama adalah gerakan anti kemapanan. Bahwa segala yang mapan, harus dibongkar, yang oleh Gus Dur, dengan meminjam istilah Mao Ze Dong;

"Seseorang tidak boleh berada dalam kemapanan. Kalau kamu lari, saya kejar. Kamu diam, saya ganggu. Kamu ngejar, saya lari," nukilnya.

Menurutnya kondisi PMII saat itu berbeda dengan sekarang. Masa-masa itu, PMII memang membongkar establish-establish kemapanan zaman orde baru.

"Jadi di zaman orde baru itu enggak terbayangkan mahasiswa IAIN kok yo dadi bupati. Wes ora iso terbayangkan. Karena yang jadi bupati mesti yo kolonel. Neng endi-endi mesti juga aturannya begitu. Jadi mahasiswa IAIN nanti lulus mau jadi apa? Kan begitu ya?”, tuturnya.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa yang berani memberikan pemikiran-pemikiran ‘membongkar’ kesemuanya itu adalah PMII, termasuk juga membongkar dan mengkritik habis bapaknya sendiri, yakni NU. Baginya PMII independent adalah karena PMII itu tidak mengikuti NU yang politik.

“Nah, itu yang berani memberikan pemikiran-pemikiran ‘membongkar’ salah satunya ya di PMII. Termasuk juga ia membongkar, mengkritik habis bapaknya sendiri. Kan begitu ya? Bapaknya sendiri pun dikritik oleh PMII saat itu, karena apa? Karena NU saat itu memang masih —walaupun sudah ada Khittoh NU tahun 1984—, tapi kan sebelumnya NU itu berpolitik. Maka PMII menyatakan independen adalah karena ia tidak mengikuti NU yang politik. Jadi, keluar dari NU politik. Nah sekarang, NU-nya sudah Khittoh, ini enggak tahu kira-kira PMII mau balik lagi atau enggak ini?! Kayaknya malu-malu kucing. Jadi mau balik lagi, wes kadung nggayane ‘independen’. Kalau enggak balik lagi yo kemana lagi nanti kan?” sambungnya.

Ia menegaskan lagi bahwa di PMII terdapat poin-poin penting yang dijadikan pemikiran pokok. Setelah anti kemapanan, selanjutnya adalah menjalankan anti kemapanan tersebut dengan cara mengembangkan liberasi. Liberasi di sini bukan berati cara berpikir bebas, tetapi membebaskan diri dari segala kungkungan dan keterikatan, sehingga mampu menggerakkan pikiran, intelektual untuk suatu perubahan. Sebagaimana mahasiswa dikenal sebagai agent of change, yaitu agen perubahan.

“Tapi di PMII itu memang ada point-poin yang kita sampaikan tadi ya, anti kemapanan di PMII itu dan kemudian yang kedua anti kemapanan itu dengan cara mengembangkan liberasi. Liberasi di sini bukan berarti cara berpikir bebas, melainkan pembebasan. Artinya membebaskan diri segala kungkungan, keterikatan, sehingga ia memang mampu menggerakkan pikirannya, kemudian menggerakkan intelektualnya untuk sebuah perubahan. Ada sebutannya, yaitu mahasiswa sebagai agen of change, agen perubahan. Mahasiswa kok tidak melakukan apa-apa, ya udah enggak usah jadi mahasiswa, nanti malah terbalik menjadi hama siswi, ya kan?”, jelasnya.

Menurutnya, mahasiswa harus melakukan perubahan, untuk selanjutnya membenturkan pemikiran dan supaya tidak beku. Harus berani melawan, dan tentunya dengan pencermatan konteks yang mendalam.

“Mahasiswa harus melakukan perubahan, sehingga diskusi-diskusi yang berjalan di mahasiswa itu seolah-olah mahasiswa itu sudah menggenggam dunia. Pokok e wes ora wedi karo sopo-sopo. Apalagi sekedar bupati, mung menteri wae dilawan kok. Presiden aja dilawan. Memang seperti itu. Karena apa? Untuk membenturkan pemikiran, agar kemudian jangan sampai beku. Harus terbuka, harus dilawan. Bahasanya kan begitu, ‘hanya satu kata, lawan!’. Cuma kemudian yang harus kita lihat adalah bagaimana konteksnya, begitu,” ucapnya.

Terakhir, ia berharap agar dalam diskusi ini dapat mentransformasikan pemikiran-pemikiran baru sebagai pemacu dalam menggerakkan organisasi, karena, seperti yang pernah ia sampaikan, PMII itu bukan sekedar organisasi, melainkan organisma, yang menurutnya dalam bahasa Arab adalah bukan hanya jama’ah tetapi juga jam’iyyah, yang ia maknai sebagai proses “pertemanan”, yakni terdapat nilai pembelajaran dalam proses peremanan kepada siapapun.

“Kita tidak sekedar hanya organisasi, tapi merupakan organisma. Organisma itu apa? Nek coro bahasa Arab, bukan hanya jamaah, tapi juga jam’iyyah, pertemanan begitu ya? Di maknai saja sekarang ini adalah proses. Suatu saat barangkali ada nilai pembelajaran dari proses pertemanan di sana,” pungkasnya.[Kommer]

Posting Komentar

0 Komentar