Dunia pesantren kembali disayat-sayat oleh isu. Kali ini feodalisme menjadi senjata untuk menciptakan kesan pesantren sebagai lembaga yang menghambat kemajuan teknologi. Mereka yang menuduh berkata, "Indonesia tidak akan maju jika masih dalam feodalisme seperti di pesantren, yang bersimpuh, ngesot dan menganggap segala hal itu merupakan adab." Dan sederet narasi serupa lainnya.
Meski kalimat saya yang akan datang akan sedikit menghujam, tetapi bukan maksud hati bermaksud mencaci balik. "Bagi saya setiap yang berucap demikian adalah manusia tanpa kepala yang berisi. Tak tahu epistemologi dan tak tahu pula sejarah. Mereka terlalu mempersempit definisi feodalisme. Mereka terlalu offside dalam melihat dan menilai fenomena pesantren."
Point penting, "Cara menghormati guru pondok pesantren di Indonesia adalah produk budaya bukan produk Agama!"
Singkat sejarahnya
Dulu, istilah priyayi masih sangat ramai. Priyayi adalah keluarga kerajaan yang sangat dihormati oleh masyarakat. Ciri khasnya memiliki pendopo (gazebo Jawa) di rumahnya. Cara menghormati priyayi sama dengan menghormati Raja-raja di jawa yang jika bertemu menunduk sampai bersimpuh, jika ingin mendekat berjalan jongkok, dan sebagainya. Demikian budaya Jawa yang menganut sistem kerajaan (monarki).
Pada masa tersebut secara kebetulan, Islamisasi Nusantara yang dibawa wali songo dan penerus-penerusnya gencar melakukan strategi pernikahan. Dari putri raja, kerabat raja, sampai priyayi selalu ada yg dinikahkan ke tokoh Ulama ataupun murid-murid para sunan. Akhirnya banyak ulama yang menikah dengan putri priyayi.
Secara sederhananya, ulama menjadi tokoh priyayi pula, karena memiliki hubungan pernikahan dengan kalangan priyayi. Akhirnya cara masyarakat memperlakukan ulama sama dengan memperlakukan priyayi (bersimpuh, jalan jongkok, dan lain sebagainya). Artinya, cara masyarakat Jawa menghormati ulama yang demikian karena dia berkerabat dengan Kerajaan bukan karena kapasitas dia. Bukan karena sejatinya siapa dia.
Berangsur-angsur ulama banyak yang membangun pendopo untuk menfasilitasi belajar masyarakat di bidang agama (pondok pesantren kalau kita bayangkan di jaman sekarang) meski terkadang juga mempelajari hal-hal lain. Identitas yang akhirnya dipahami masyarakat Jawa adalah "pendopo untuk belajar adalah milik priyayi". Secara perlahan pula kalangan priyayi mulai hilang identitasnya. Semenjak Belanda berkali-kali rugi dan kalah perang kalangan priyayi mulai kehilangan jabatanya, kehilangan fasilitas-fasilitas yang menjadi identitas bahwa ia adalah seorang priyayi. Berbeda dengan ulama yang tidak terlibat hubungan kerja dengan pemerintahan Belanda. Akhirnya, cara menghormati yang demikian dilakukan terhadap orang-orang yang memiliki fasilitas belajar Agama.
Kembali pada poin pentingnya bahwa sikap yang dilakukan oleh kalangan santri adalah produk budaya bukan produk agama. Cara menghormati pelajar Agama di Indonesia (Jawa terutama) berbeda dengan di Arab, Mesir, Yaman dan negara islam lainnya karena memang bedanya budaya. Jangan salahkan jika ada perbedaan cara menghormati di ta'limul muta'alim dan di Kyai yang masih sangat denkat dengan keraton. Jangan salahkan jika cara sahabat Nabi (selaku murid terbaik di dunia) menghormati Nabi (Selaku guru terbaik di dunia) berbeda dengan cara santri menghormati gurunya.
Cara menghormati boleh berbeda asalkan masih memiliki rasa hormat. Yang tidak boleh adalah kehilangan rasa hormat. Yang tidak mau menghormati adalah yang keliru.
Basic Sejarah
K. H. Achmad Chalwani selalu menegaskan dalam pidato-pidatonya jika tokoh pertama yang mampu mengobarkan semangat Nasionalisme perjuangan perlawanan skala besar adalah Pangeran Diponegoro. Sebelumnya perlawanan terhadap VOC dan segala yang bersangkutan dengan pemerintah Hindia Belanda hanyalah perlawanan-perlawanan kecil. Skala desa atau paling besar hanya perlawanan skala kadipaten (kabupaten penyebutan untuk era sekarang). Apa yang dilakukan Pangeran Diponegoro adalah satu langkah kemajuan untuk sebuah bangsa yang besar, yaitu menciptakan kemerdekaan.
Akira Nagazumi, ahli sejarah Asia Tenggara dari Jepang menuliskan pula dalam bukunya yang berjudul, "Bangkitnya Nasionalisme Indonesia (Budi utomo 1908-1918)" Bahwa kebangkitan Nasionalisme Skala besar telah dipelopori oleh budi utomo. Saya akan coba persingkat kisah dan merendahkan bahasa supaya mudah dipahami.
Awal abad ke-20, Ratu wilhelmina (Belanda) memutuskan untuk berbalas budi atas apa yang telah didapatnya dari Indonesia. Balas budi tersebut dikenal dengan istilah politik etis. Ia menetapkan 3 sektor kebijakan;
Irigasi, yang bertujuan untuk kesuburan pertanian dan mensejahterakan petani pribumi. Karena saat itu sistem perairan untuk pertanian di Indonesia masih sangat tidak efisien. meski kebijakan ini tampaknya sangat baik untuk Rakyat Indonesia nyatanya hasil pertanian itu nantinya kembali menjadi keuntungan Belanda. Keuntungan itu nantinya akan dipakai untuk menutup kerugian bahkan hutang dari perang-perang yang telah dilakukan sebelumnya, termasuk perang Jawa melawan Pangeran Diponegoro.
Imigrasi, yang bertujuan untuk pemerataan rakyat di wilayah-wilayah yang masih dianggap terlalu sepi, menghindari kepadatan penduduk, bahkan beberapa sumber mengatakan untuk pemerataan ekonomi. Karena di wilayah-wilayah sepi lahan pertanian sangat banyak dan dapat dimanfaatkan. meski terlihat pula alasannya yang logis ini, tetapi tujuan Belanda sebenarnya adalah untuk memisahkan pejuang-pejuang yang gencar melakukan perlawanan, memisahkan antara tokoh-tokoh berpengaruh supaya tidak menciptakan perlawanan, supaya semua rencana Belanda berjalan mulus.
Edukasi, Ratu wilhelmina melalui gubermen jenderalnya menciptakan sekolah-sekolah yang bertujuan untuk mencerdaskan pribumi. Pada akhirnya kebijakan yang dipandang lurus ini tidak sesuai realitanya. Realitanya kebijakan edukasi dengan mendirikan sekolah-sekolah tersebut hanya untuk keturunan Priyayi (Keluarga Kerajaan) yang akan dijadikan oleh Belanda sebagai Bupati-bupati, asisten, penjaga gudang, pengatur administrasi, mandor pabrik, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya di bawah kekuasaan Belanda. Karena tidak mungkin Belanda terus-menerus mendatangkan orang Belanda ke Indonesia untuk bekerja. Dalam logika mereka, lebih baik menggunakan pribumi yang harga jasa lebih murah, lebih diterima masyarakat (karena diisi oleh tokoh-tokoh priyayi), dan mereka selalu mudah dirayu dengan uang serta jabatan.
Pendidikan selalu menciptakan 2 jenis manusia
Manusia yang semakin ingin memahami dan mengerti sesuatu supaya mendapatkan pangkat, jabatan, kehormatan, kemewahan, kemuliaaan dan sebagainya. (Meski terkadang tak sadar dalam jajahan)
Atau manusia yang semakin ingin memahami dan mengerti sesuatu supaya mereka semakin menyadari mereka dalam jajahan dan mereka harus mampu melawan serta bertahan hidup di atas penderitaan.
Penulis: Athas Langit
1 Komentar
nyatanya kebanyakan masyarakat masih kurang mengerti terkait feodalisme, bagus kiranya jika to care membuat sesuatu berupa video maupun tulisan mengenai masalah ini
BalasHapus