Ketidaklayakan Anime sebagai Landasan Dalil Ilmu Pengetahuan
Penulis: Gembok Speed
Pendahuluan
Dalam lanskap intelektual kontemporer, terdapat gejala yang menarik sekaligus memprihatinkan: aktivis-aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi eksternal kampus mulai mengadopsi elemen-elemen budaya populer, khususnya anime Jepang, sebagai dasar perumusan dalil-dalil ideologis, etis, bahkan ilmiah. Mereka mengutip karakter-karakter fiktif, dialog simbolik, hingga narasi dunia anime sebagai landasan untuk membentuk sikap politik, kritik sosial, hingga klaim kebenaran ilmiah.
Fenomena ini memerlukan telaah kritis dari sudut pandang epistemologi dan filsafat ilmu. Kita perlu bertanya: apakah anime layak dijadikan rujukan epistemik dalam praktik pengorganisiran sosial, advokasi, dan pembangunan teori kritis? Narasi ini berupaya menjawab pertanyaan tersebut dengan mengacu pada pemikiran filsuf-filsuf dari aliran positivisme, kritisisme, dan poststrukturalisme, serta tradisi falsifikasi ilmiah.
Positivisme: Ilmu Pengetahuan sebagai Fakta Objektif
Menurut pandangan positivisme klasik yang dirintis oleh Auguste Comte, ilmu pengetahuan harus bertumpu pada fakta-fakta yang terukur, dapat diamati, dan diverifikasi secara empiris. Ilmu bukan produk imajinasi, melainkan sistem pengetahuan yang bebas dari spekulasi metafisik dan narasi fiksi. Dalam kerangka ini, anime adalah bentuk ekspresi budaya—bukan sumber pengetahuan yang dapat diverifikasi.
Rudolf Carnap, tokoh mazhab logical positivism, lebih jauh menegaskan bahwa bahasa ilmiah harus disusun dalam bentuk proposisi yang dapat diuji melalui logika formal dan observasi sistematis. Menggunakan anime sebagai fondasi argumen dalam forum aktivisme sosial atau teori perubahan masyarakat berarti menukar logika dengan simbolisme estetis, sebuah penyimpangan dari prinsip dasar metode ilmiah.
Kritisisme: Rasio, Pengalaman, dan Batas Pengetahuan
Dalam perspektif kritisisme, khususnya melalui pemikiran Immanuel Kant, pengetahuan ilmiah dibatasi oleh hubungan antara rasionalitas manusia dan pengalaman empiris. Kant membedakan antara fenomena—apa yang tampak dan dapat dikenali secara rasional—dan noumena—realitas di luar jangkauan pengalaman manusia.
Anime, sebagai produk imajinasi dan estetika hiperbolik, tidak dapat diposisikan sebagai fenomena dalam pengertian Kantian. Ia adalah refleksi nilai-nilai fiksi, bukan manifestasi empiris yang dapat dikaji melalui kategori rasional. Maka, menjadikan anime sebagai dasar dalam menyusun kerangka pemikiran aktivis, khususnya yang menyasar perubahan sosial dan keadilan struktural, adalah kekeliruan epistemologis yang mencampuradukkan ranah imajinatif dengan rasionalitas kritis.
Poststrukturalisme: Kebenaran sebagai Diskursus
Berbeda dari positivisme dan kritisisme, tradisi poststrukturalisme membuka ruang bagi pemahaman bahwa pengetahuan dan kebenaran dibentuk oleh kekuasaan dan wacana, sebagaimana dikemukakan oleh Michel Foucault. Dalam kerangka ini, anime dapat dibaca sebagai produk diskursif yang mencerminkan nilai-nilai, relasi kuasa, dan identitas simbolik.
Namun, Jacques Derrida memperingatkan bahwa teks (termasuk anime) bersifat tak stabil—makna selalu tertunda dan terpecah dalam proses pembacaan (différance). Maka, menjadikan anime sebagai rujukan kebenaran ilmiah atau etik politik justru bertentangan dengan semangat dekonstruktif itu sendiri, karena anime tidak pernah menyampaikan makna yang tunggal atau tetap.
Lebih lanjut, dalam perspektif Jean Baudrillard, anime bukan hanya representasi, melainkan simulacra—tanda-tanda yang telah terlepas dari realitas. Aktivisme yang membangun narasi perjuangannya dengan mengutip fiksi yang telah kehilangan rujukan realitasnya justru berisiko jatuh ke dalam politik citra, bukan politik materiil.
Aktivisme dan Standar Epistemik: Antara Estetika dan Perjuangan Sosial
Aktivisme mahasiswa memiliki akar historis yang kuat dalam praksis ilmiah, teori kritis, dan pemikiran rasional yang bertujuan untuk mengungkap, membongkar, dan mengintervensi struktur ketidakadilan. Oleh karena itu, basis argumentasi dalam praktik aktivisme harus berdiri di atas kerangka analisis yang teruji, dapat dibantah, dan tahan terhadap kritik rasional.
Sebagaimana ditegaskan oleh Karl Popper, kriteria pengetahuan ilmiah bukanlah pembuktian mutlak, melainkan kemungkinan untuk difalsifikasi. Anime, sebagai narasi fiktif yang tidak dapat diuji atau dibantah secara ilmiah, tidak memenuhi prinsip falsifikasi, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar dalil yang sahih dalam perjuangan sosial yang memerlukan ketepatan konseptual dan tanggung jawab intelektual.
Penutup
Membaca anime sebagai refleksi kultural, simbol perlawanan, atau sarana pedagogis dalam konteks aktivisme tentu sah dan bahkan bisa produktif. Namun, menjadikannya sebagai fondasi epistemik untuk klaim ilmiah atau strategi perubahan sosial adalah bentuk kekeliruan metodologis dan intelektual. Di tengah perjuangan yang menuntut ketepatan berpikir, tanggung jawab etis, dan keteguhan pada data serta argumen rasional, aktivisme tidak boleh terjebak pada ilusi estetika.
Aktivisme bukan pertunjukan simbolik, melainkan praksis berpikir kritis dan kerja nyata atas dunia yang empiris.
Daftar Rujukan Singkat
• Comte, A. (1830). Cours de philosophie positive.
• Carnap, R. (1934). The Logical Structure of the World.
• Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason.
• Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery.
• Foucault, M. (1972). The Archaeology of Knowledge.
• Derrida, J. (1972). Dissemination.
• Baudrillard, J. (1981). Simulacra
0 Komentar