Memasuki dunia manusia 5.0 yang serba canggih dan instan ini, disadari atau tidak, telah menuntut manusia dalam memperoleh sesuatu tanpa melalui proses yang sewajarnya menunjang tujuan tersebut. Romantisme kemajuan ini berimbas pada pertanyaan bagaimana manusia menjalani konflik demi konflik dalam kehidupannya beserta usahanya dalam menemukan jalan keluar yang tepat?
Jika kita berkaca pada satu dawuh yang sering disampaikan oleh Almukarrom K.H. Achmad Chalwani Nawawi, kita akan mudah menemukan jawaban di atas. Berikut dawuh Beliau:
“Bocah mondok kok cedak karo wong tuwo, ora bakal temuwo-temuwo.”
Yang kurang lebih memiliki arti “Seorang anak yang mondok ketika dekat dengan orang tuanya, ia tidak akan dewasa.” Dawuh ini sering penulis dengar saat pengaosan-pengaosan Beliau. Sehingga benar-benar membuat penulis kerap mengulanginya di berbagai obrolan ringan saat menikmati kopi sore hari menjelang maghrib atau malam hari setelah madrasah di kamar, di komplek, di aula pondok, saat mencuci pakaian di kali, maupun dalam diskusi yang kelewat berat di kantin kampus.
Dari kebiasaan mengulang kembali dawuh tersebut, kian kemari kian benderang maknanya dan bagi penulis yang terakhir ini adalah makna yang paling utuh, dari beberapa makna awal yang kabur.
Kita analogikan secara sederhana saja pada satu kasus di satu sisi, seorang santri yang sedang pulang di rumahnya dan suatu hari ia ditilang polisi karena berkendara tanpa memakai pengaman seperti helm. Secara psikologis, tekanan mental yang ia hadapi dapat dikatakan minim sekali, sebab ia akan menyelesaikan masalah ini dengan cara menghubungi orang tuanya melalui Whatsapp.
Sedang di sisi lain pada kasus yang sama juga menimpa santri yang notabene berada di pesantren dengan motor pinjaman milik pengurus pondok. Secara psikologis, tekanan mental yang ia hadapi tentu akan berkali lipat daripada kasus pertama. Sebab: pertama, ia tidak dapat menghubungi sahabat atau orang terdekatnya dikarenakan ia tidak boleh membawa alat komunikasi dan kalaupun ada yang meminjaminya handphone tidak satupun nomor pengurus pondok yang ia hafal, kedua, motor yang ia pinjam adalah milik orang lain dan ketiga, kemungkinan besar uang yang ada disakunya hanya cukup untuk keperluan belanjanya di luar pondok. Sehingga jalan keluarnya akan sangat berbeda dengan jalan keluar yang digunakan santri pertama.
Perkiraan paling memadai adalah ia akan bernegosiasi terlebih dahulu dengan Pak Polisi, lalu pulang ke pondok menggunakan angkutan umum yang akhir-akhir ini semakin langka tergeser oleh ojek online (ojol) dan kemudian mencari siapa saja sahabat yang dapat membantunya.
Dari kedua kasus tersebut dapat ditarik benang merah yang erat kaitannya dengan dawuh Almukarrom di atas, yakni penyelesaian konflik dengan potensi terbesar yang mengantarkan pada proses pendewasaan sudah tentu didapatkan oleh santri ke-dua. Alasannya cukup sederhana, yaitu problem berlapis yang ia hadapi akan menuntutnya berpikir keras serta melatihnya untuk melewati lika-liku masalah per-detailnya secara terstruktur. Berbeda dengan santri pertama yang memiliki sedikit kesempatan untuk mengeksplorasi suatu penyelesaian masalah. Dan alasannya pun cukup sederhana, yaitu ia terbantu oleh ke-serba-instanan teknologi yang menghubungkan ia dengan orang tuanya.
Jadi telah benderang sudah jawaban atas pertanyaan refleksi atas dawuh Beliau. Kesimpulannya, semakin problematis perkara manusia, semakin ia terdidik untuk dewasa. Pun sebaliknya, semakin problem yang dihadapi manusia, semakin sedikit pula ia terdidik dewasa. Dan satu poin lagi, bahwa manusia normal akan dewasa seiring bertambahnya usia, dengan catatan seberapa dalam ia melalui dan mengambil makna dari proses hidupnya, pun seballiknya pula, banyak fenomena manusia yang bertambah umurnya namun tidak bertambah kedewasaannya dikarenakan ketumpulannya melalui dan mengambil makna dari proses hidupnya.
Sebagaimana kedewasaan dapat mempribadi dalam diri manusia, kedewasaan juga dapat mempribadi dalam diri demokrasi. Dewasa atau tidaknya demokrasi dapat diamati dari beberapa ukuran. Pertama, kedewasaan orang yang memilih pemimpin. Dalam hal ini, seorang filsuf Yunani kuno, Plato sangat tegas mengkritik kecatatan demokrasi dengan menganalogikan para penumpang kapal yang memilih nahkodanya, namun mereka para pemilih ini tidak memahami kualifikasi dan elektabilitas yang harus dimiliki seorang nahkoda. Menurut Plato, pemilihan peminpin semacam ini merupakan suatu bentuk kecacatan demokrasi yang disebabakn oleh ketidakdewasaan pengetahuan para pemilihnya.
Kedua, kualifikasi dan elektabilitas calon pemimpin. Jika orang yang memilih saja perlu memiliki pengetahuan yang mumpuni, sudah dapat dipastikan bahwa orang yang akan dipilih sebagai pemimpin juga amat perlu memenuhi kualifikasi yang menandakan dirinya layak terpilih. Ketika peraturan yang telah ditetapkan mengatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki tiga pendorong, sebut saja sepeda, motor dan mobi, maka ketiganya ini perlu dimiliki oleh si calon yang layak dipilih. Jika tidak, sungguh hukum tidak perlu diturunkan dari langit sama sekali. Namun, perlu ditegaskan kembali bahwa persoalan kelayakan pemimpin bukanlah persoalan tentang sepeda, motor maupun mobil! Kekayaan lahiriyah bukan faktor pendorong belaka. Banyak faktor lain, sebut saja faktor batin, semisal komunikasi. Lalu bagaimana layak menjadi pemimpin jika visi-misinya saja un-komunikatif(?)
Ketiga, kestabilan penyelenggara pemilihan umum. Di negara Konoha, penyelenggaraan ini dimotori utama oleh Komisi Pemilihan Umum Hokage atau KPUH. Para shinobi pilihan ini sudah sepatutnya menjalankan teknis pemilihan sesuai dengan ketetapan yang berlaku se-efektif dan se-efisien mungkin. Satu langkah saja ada yang berani mengundurkan diri, maka ke-shinobiannya patut diragukan. Jika tidak, ukuran pertama maupun ukuran kedua tidak akan dapat berlaku dalam pemilihan.
Keempat, kestabilan penyelenggaraan di atas dapat tercapai apabila fungsi pengawasan dan monitoring dijalankan sebagaimana mestinya. Di negara Konoha pun, kedua fungsi ini dijalankan oleh Badan Pengawas Pemilu Hokage atau Bawasluhok. Jika terjadi kecurangan, pelanggaran atau bahkan kecacatan pelaksanaan, maka sudah sepatutnya Bawasluhok berwenang meluruskannya. Atau jika tidak, shinobi jenis ini diancam nyawanya oleh petinggi Daimyo.
Beberapa ukuran di atas ini memang tidak terdapat dalam kitab suci, tetapi butuh kesucian rasa, cipta dan karsa untuk dapat berliterasi secara kaffah, yakni berliterasi lahir dan batin!
Mari sejenak mengheningkan dan merefleksikan syair karya Gus Dur berikut.
Ojo mung ngaji sarengat beloko...
Gur pinter ndongeng, tulis lan moco...
Tembe mburine bakal sengsoro...
(Tembe mburine bakal sengsoro...)
Salam Demokasi!!!
Purworejo, 07/12/2024
0 Komentar