Nahdlatun Nisa: Revisi atas Feminisme

  
    Apa yang tergambar dalam benak pembaca mengenai kebangkitan perempuan ini, (tebakan saya) sudah tentu tak jauh dari definisi feminisme atau gender yang muncul di dunia Eropa pada abad petengahan kala itu. Padahal, sejak saya mengkonsumsi wacana tentang perempuan, entah gender entah feminisme sejak dua tahun lalu hingga sekarang, tak pernah ada narasi yang mengangkat tema keperempuanan yang memang diusung oleh bangsa kita sendiri, Bangsa Indonesia.
   Kekosongan narasi itu pula yang memantik saya -lebih tepatnya membuat saya gemas- untuk mencoba menuangkan apa yang saya cemaskan selama ini, yakni bagaimana mungkin feminisme yang muncul di tempat dan waktu yang jelas berbeda dengan keadaan masyarakat Indonesia itu bisa diterima dengan mudah di kalangan akademisi kita selama ini? (Mungkin sejak nama Kartini menjadi proyek kolonial guna menjaga tampuk kekuasaan pada saat itu).
    Ada baiknya penelisikan ini dimulai dengan melihat ulang bagaimana seorang R.A. Kartini namanya mengudara ke permukaan melalui tangan seorang Belanda bernama J.H. Abendanon. Dia inilah yang pertamakali mengumpulkan surat-surat Kartini pada sahabat Eropanya, Stella (Estella Zeehandelaar), dan kemudian menjadikannya sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht yang belakangan dieja dengan penuh harapan oleh masyarakat kita: Habis Gelap Terbitlah Terang, sebagai master piece-nya Kartini. Namun, apakah dengan demikian dapat dicerna begitu saja bahwa benarkah yang disuarakan Kartini itu telah cukup tergambarkan dari proyek kolonial tersebut?
    Di sini dikatakan proyek kolonial sebab Abendanon adalah kepanjangan tangan dari Politik Etis, yang dengan kebuntuannya menggarap pendidikan perempuan, justru membuatnya harus melobi sahabatnya, Snouck Hurgronje, sehingga didapatkanlah Kartini sebagai target operasi pertamanya, yang sudah tentu atas saran 'si arsitek perang aceh' itu, Snouck. Bahkan dengan tegas Siti Soemandari Soeroto (1997) mengecam bahwa istri dari Abendanon ini jelas-jelas telah membuat Kartini dan kedua adiknya kecewa berat karena menghalang-halangi mereka untuk melanjutkan sekolah di Belanda. Tentunya kedua alasan ini cukup buat menguatkan argumen bahwa kolonial tak ingin duduk manis begitu saja melihat batu loncatan yang berhasil dicapai Kartini tanpa sepengetahuan dan kendali mereka. Apalagi kalau bukan untuk melanggengkan kekuasaan sebagai subjek yang menjajah.
   Atas dasar tersebut, telah nyata bahwa penggambaran Kartini yang 'seakan' menentang tradisi itu merupakan garapan kolonial. Dan lucunya, masyarakat kita menerima bahkan mengamininya begitu saja bahwa Kartini adalah buah dari persilangan antara pengetahuan modern dan budaya Jawa tanpa pembacaan secara mendalam. Dalam artian kita masih bangga dengan apa yang dibuat kolonial tanpa kita sadar kapan kita dapat membuat wacana sendiri tentang bangsanya sendiri. Sehingga kegagalan pembacaan inilah yang menggeneralisasi apa yang disuarakan Kartini sebagai yang semakna dengan merekonstruksi tradisi, atau lebih tepatnya emansipasi pribumi sama dengan rekonstruksi pribumi itu sendiri. Umi Maisaroh (2021) mencoba mengingatkan kita melalui tulisan bernada jokes-nya: "Saya tidak yakin Kartini harus memasak, membersihkan rumah atau mencuci baju, bukankah dia seorang bangsawan?"
    Alih-alih mengkritisi tradisi dan kebudayaan Jawa, kita terlalu masa bodoh dan tanpa pernah sadar: feminisme baratlah yang sepatutnya direvisi dengan konteks kebudayaan Nusantara. Bukankah dari prolog di atas, dapat dibacai bahwa sesungguhnya politik etislah yang membatasi Kartini buat meneruskan pendidikannya di Belanda, bukan malah tradisi Jawa yang seolah-olah dianggap sebagai 'momok'. Oleh karena itu, saya suguhkan Nahdlatun Nisa di sini untuk mengenal konsepsi sebenarnya mengenai kebangkitan perempuan dan segala kompleksitasnya yang memang lahir dari Bangsa Kita sendiri.
    Apabila perempuan dalam sejarahnya selalu berada di pinggiran pusat keadilan, tentu ada yang tidak beres dalam tatanan masyarakatnya, entah dari laki-laki atau justu dari perempuan itu sendiri. Maka dari itu, Nahdlatun Nisa yang secara harfiah bermakna Kebangkitan Wanita di sini hadir lalu menunjukkan kepada kita bahwa hak-hak kemanusiaan yang telah lama tercerabut itu perlu ditemukan dan ditanam kembali dalam konteks kehidupan baru oleh perempuan itu sendiri, maupun oleh laki-laki (baca: mubadalah/ketersalingan). Ini bermakna bahwa ketercerabutan itu bukanlah olahan kaum laki-laki semata, yang mana memungkinkan perempuan sebagai subjek itu sendiri apabila terjadi gagal dalam mengupayakan kemampuannya untuk memaknai kebangkitannya sendiri dengan atau tanpa laki-laki sekalipun.
    Sebenarnya gender maupun feminisme bukan tentang perempuan atau laki-laki. Ia tak lebih dari kemampuan membaca fakta kehidupan dalam dunia ide dengan keluar dari segala yang membatasi pikiran umum, menuju kebaruan ide-gagasan yang aplikatif dalam kehidupan yang juga baru.[]
Oleh: Muhammad Fadhil

Posting Komentar

0 Komentar